Selamat mengemban amanah.. Prof Din Syamsuddin

Image

“moga siap untuk mempersatukan perpecahan di antara umat!!”

Itu contoh kalimat yang muncul dlm benak sy ketika mendengar berita tsb. Ada sedikit analisis dari pribadi yg awam dan baru menginjak Indonesia ttg hal ini.. tentunya sy kutip dari berbagai sumber. Dalam pandangan saya, terpilihnya Prof Din menjadi ketum MUI menggantikan pendahulunya (almaghfur KH. Sahal Mahfud) memunculkan beberapa catatan penting, a.l.:

Pertama, beliau adalah ketum MUI kedua setelah Buya Hamka dengan latar belakang Muhammadiyah. Sangat baik untuk menghilangkan persepsi adanya “dominasi” kepemimpinan MUI oleh tokoh-tokoh NU. Tokoh ormas Islam manapun yang memimpin MUI, semoga tidak mengganggu khidmah MUI kepada umat.

Kedua, beliau akan dihadapkan pada dilematika penyatuan awal Ramadhan dan kedua hari raya Islam (‘Idul Fitri dan Adha). Setidaknya di 2 tahun terakhir ini posisi Muhammadiyah di bwh beliau kerap bersebrangan dengan keputusan mayoritas umat (ormas) Islam melalui sidang istbat Kemenag, termasuk MUI. Semoga beliau lebih bijaksana menyikapi perbedaan tsb dengan mengedepankan indahnya kebersamaan umat. Selain itu, Prof Din yang juga ketum MD dapat lebih terbuka terhadap usulan peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Prof Thomas Djamaluddin, yang juga baru diangkat sebagai pimpinan LAPAN, untuk meninjau ulang kriteria yang digunakan MD pada metode hisabnya.

Ketiga, beliau akan dihadapkan pada karakter kepemimpinan ormas Islam NU periode sekarang yang, hemat saya, berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya (Kyai Hasyim), yang cenderung antagonistik terhadap gaya beragama model MD, yang dalam beberapa hal sering melontarkan nada-nada provokatif, dan yang sering menapakkan kekurangnyamanannya terhadap gaya Islam Timur Tengah. Hal ini (kabarnya) dalam rangka menjaga lokalitas Islam Indonesia (ASWAJA) yang disebut-sebut sebagai Islam kultural dan mengantisipasi adanya infiltrasi aliran garis keras wahabi ke dalam tubuh NU. Sebagai ketum MUI yang baru, semoga Prof Din dapat menyikapinya dengan elegan.

Keempat, beliau adalah alumni dan (kalau tidak salah) masih anggota badan wakaf Gontor yang secara institusional menganut prinsip “beridiri di atas dan untuk semua golongan” dan “menjadi perekat bukan peretak umat”. Sebagai ketum lembaga yang terdiri dari berbagai macam ormas Islam, prinsip ini penting beliau tanamkan. Dalam memimpin MUI, beliau bisa lebih mengedepankan nilai-nilai dan jiwa kegontorannya ketimbang kemuhammadiyahnnya. Meski saya sepakat, tidak hanya Gontor yang memiliki prinsip seperti itu.

Kelima, dalam hal politik Prof Din bisa ambil pelajaran dari ketum MUI sebelumnya (alm. KH. Sahal Mahfudz). Pandangan Kyai Sahal tentang politik menunjukkan kebesaran seorang ulama. Pernah dalam sebuah forum NU, Kyai Sahal menasihati agar NU sebagai lembaga tidak terjebak politik tingkat rendah yang penuh intrik dan konflik kepentingan. Tapi politik tingkat tinggi yang lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara (Siyasah ‘Aliyah Samiyah). Beliau konsisten dengan pandangannya tersebut. Dalam hal ini saya sepakat jika Kyai Sahal menyandang gelar tokoh dan guru bangsa. Berbeda dengan ketua PB NU yang sekarang aktif. Mengaku tidak berpolitik praktis, namun belakangan muncul dengan bendera NU di iklan politik salah satu parpol “binaannya”. Nah, saya kira Prof Din punya kapasitas utk mensterilkan diri dari godaan politik praktis. Mengingat, dalam catatan sejarah poltik kita, beliaupun dengan Muhammadiyahnya pernah membidani kelahiran parpol.

‘Ala kulli hal, selamat kepada Prof Din. Semoga dengan kepemimpinan beliau, MUI lebih baik, lebih aktif merespon kegalauan umat, cepat tanggap menjawab tantangan zaman dan mampu menjaga haibah serta muruah MUI. Analisa di atas bisa jadi keliru sebagian atau seluruhnya. Oleh karena itu, mhn maaf bila ada yang kurang berkenan.