Siap dikritik? Kenapa ngga..

Dalam kehidupan nyata, sangat banyak kejadian yang harus kita hadapi. Seberapa sukses kita menghadapinya adalah berbanding lurus seberapa kemampuan diri kita dan seberapa besar keyakinan kita kepada Allah.

Salah satu problem yang pasti akan dihadapi oleh siapapun adalah menerima kritikan. Mendengar kata “kritik” bagi kebanyakan orang adalah sesuatu yang menghinakan, menyakitkan dan merendahkan diri kita. Bahkan kebanyakan orang menganggap pengritiknya adalah musuh.

Akibatnya, jika sebuah kritik terlontar maka yang terjadi adalah permusuhan atau paling tidak perbedaan pendapat yang menegangkan. Ini tidaklah salah, karena setiap manusia membutuhkan rasa aman. Jika perasaan aman itu terganggu maka muncullah perlawanan. Tapi keuntungan apa yang akan kita dapatkan dari permusuhan ini?

Bagi orang-orang yang sedang memperbaiki diri, kritikan justru bisa memicu dirinya untuk menjadi lebih baik. Mereka tidak mau menghabiskan energinya untuk melampiaskan kekecewaan hatinya. Justru mereka sibuk mencari hikmah dan segera diterapkan dalam dirinya agar terjadi percepatan perubahan yang sangat nyata.

Bagaimana jika kritikan itu merendahkan diri kita? Ah, sebenarnya kalau kita mau jujur, kita adalah lebih rendah dari isi kritikan itu. Kita merasa direndahkan oleh kritikan karena kita merasa tinggi dan mulia. Justru merasa mulialah yang akan menjerumuskan kita ke neraka.

Bagaimana jika kritikan itu disampaikan bukan pada saat yang tepat? Kita tidak akan pernah merasa tepat menerima kritikan. Kita lebih siap dipuji daripada dikritik. Jikalau ada orang lain yang kita minta untuk mengritik, jarang-jarang mereka segera mengatakannya pada saat kita minta. Kalaupun dikatakan, maka sangat halus menyampaikannya. Justru pada saat kita tidak siap, maka itulah kritikan yang asli. Bisa jadi kritikan ini lebih mirip dengan keadaan kita yang sebenarnya.

Bagaimana jika cara menyampaikannya dengan cara yang kurang baik? Kita tidak perlu protes. Bukankah mereka berbicara dengan mulut mereka sendiri? Bukankah idenya muncul dari pikiran mereka sendiri? Kita tidak berhak untuk mengatur orang lain untuk bertindak seperti yang kita inginkan. Biarkan saja mereka berbicara dan kita meraih hikmahnya.

Bagaimana jika yang mengritik adalah orang yang kita cintai? Justru itulah bukti cinta tulus mereka kepada kita. Mereka ingin menyelamatkan kita dari malapetaka dengan kritikan itu. Justru merekalah sahabat sejati kita. Mereka telah merelakan dirinya menjadi cermin bagi kita. Bukankah cermin adalah mahluk paling jujur yang menggambarkan obyek di dekatnya?

Jadi apa yang sebaiknya kita lakukan?
1. Jangan sekali-kali membantah kritikan itu, biarkan ia tertumpah. Jika kita membantahnya, maka ibarat aliran alir di sungai yang deras dan kita membendungnya. Maka yang terjadi adalah seperti bendungan jebol atau paling tidak, air meluap ke mana-mana.

2. Dengarkan sampai tuntas dan akui bahwa kritikan itu benar. Ucapkan terima kasih kepada yang menyampaikannya. Ini tidak begitu mudah, tapi justru di sinilah salah satu tolok ukur kualitas diri kita.

3. Berikan maaf dan kirim do’a kebaikan bagi pengritik itu. Inilah tindakan yang terpuji. Memberikan maaf dan mendoakan adalah bagian dari amal sholeh kita, jika dilakukan dengan penuh keihlasan.

Brothers and sisters ..

Mungkin tidak sesederhana dan semudah itu kita lakukan. Tapi apalah gunanya kita bergelut dengan kritikan sehingga kita kehilangan kesempatan untuk melakukan amal sholeh lainnya? Lebih baik kita ubah energi marah kita menjadi energi perbaikan diri. Jawaban terbaik untuk kritikan adalah perbaikan diri. Tidak pernah merugi orang-orang yang selalu memperbaiki
diri, insya Allah.