Berbicara itu Berbagi, Berbagi Itu Peduli

Tidak diragukan lagi, mampu berbicara merupakan nikmat Allah SWT yang wajib disyukuri. Al-Junaid, seorang sufi menjelaskan bahwa bersyukur itu dengan menggunakan semua pemberian Allah untuk mengabdi dan berbakti padaNya. Well, mensyukuri nikmat berbicara, lidah dan bibir berarti menggunakannya untuk menyampaikan kebenaran atau minimal menggerakkan orang untuk terus mengingat serta mengabdi pada Allah.

Pandai bicara, ternyata bukan merupakan warisan biologis dari orangtua yang bersifat genetis dan otomatis. Sehingga, wajar jika kita melihat fenomena buah yang jatuh jauh dari pohonnya- saudara/ayahnya seorang politisi atau pembicara ulung, sementara adiknya memiliki kelemahan dalam berkata-kata. Pandai berbicara adalah hasil dari proses pembelajaran oleh lingkungan dan latihan intensif. Teringat adegan dari film “The King’s Speech”, bagaimana putra mahkota berjuang keras melawan kegagapannya untuk berbicara depan umum. Mulai dari intonasi, penggunaan kata yang tepat (diceritakan ia terlalu sering menggunakan bahasa ‘umpatan’), hingga mengubah dari sekedar bicara kosong, menjadi sebuah kata-kata yang diingat sepanjang masa. Atau adegan seorang orator ulung, Cicero, yang melawan keterbatasan fisiknya yang kecil dengan berlatih teriak dan berbicara di pinggir desiran ombak. Masih banyak cara untuk menjadi seorang yang pandai bicara. Lantas, apa kaitan antara bicara dengan berbagi?

Ide selalu bermunculan bagi mereka yang terbuka pikirannya. Seperti sebuah film, sebuah peristiwa pun selalu menyediakan ruang perspektif yang berbeda bagi yang mengalaminya. Kalau orang-orang (yang beda perspektif) ini enggan untuk membicarakan peristiwa yang dialaminya, niscaya orang sekitar hanya menganggap pengalamannyalah yang paling berharga. Perasaan itu akan tumbuh dan berkembang, hingga pada puncaknya ia selalu boosting akan pencapaiannya, ber-euforia terlalu lama, hingga menjadi pribadi yang anti kritik. Bahaya bukan? Coba kalau tiap orang setidaknya membicarakan pelajaran apa yang ia ambil, serta ia mau menerima masukan kala ia mengalami persepsi yang berbeda, tentu segala kemungkinan terburuk bisa dicegah. Dapat dikatakan, di sinilah muncul keterkaitan antara ‘bicara” dan “berbagi”.

Oke, konteks kita “bicara” kali ini adalah bicara depan umum ya.. bahasa keren-nya mungkin public speaking. Pepatah mengatakan, “diam itu emas, bicara baik itu berlian” atau pepatah kontemporer “bicaralah yang lebih baik, atau bicara yang baik” (Fzn, 2013). Dan alhamdulillah, mengacu ke pepatah tersebut, sy meng-azzamkan diri untuk terus berbagi via “mulut dan pengalaman” jika itu dibutuhkan. Toh ini termasuk aktivitas berbagi kan?

Demam panggung, minder, pasti suka menghantui. Tapi kapan lg mau perbaiki kelemahan2 tersebut, apalagi kl sudah diberikan kesempatan, baik bicara dalam forum, monolog, atau bahkan orasi? Nah, siapapun kamu, jika didatangi “kesempatan emas” untuk menjadi pembicara, baik MC, moderaor, presenter,…,  segera sambut dan gandeng ia dengan mesra.  Jangan lepaskan ke orang lain. “Kesempatan emas” tak datang dua kali dalam hidup.  So, persiapkan diri Kamu, kapanpun, dimanapun. Selanjutnya, rasakan keajaiban akan mengelilingi hidup kamu.

Mulai sekarang, silakan berjanji, bahwa tak ada lagi alasan takut, minder, tak siap, tak bisa, tak mampu. Ketika diminta, ditunjuk, dilantik, atau “ditodong” menjadi MC dadakan, pembaca doa dadakan, pemberi pidato dadakan, pembicara dadakan, panitia dadakan, ketua proyek dadakan, dan lainnya, terima saja. NO EXCUSE! Just take it! Pasti dapat banyak pelajaran dari sana. Siapa tahu itu adalah pintu bagi terbukanya kesuksesan Kamu yang lebih besar lagi. Seperti yang dialami Oprah Winfrey. Who knows?

IMG_9429

Memoderatori se-kaliber ustadz Bachtiar Natsir, depan kaum hawa pula.. jelas harus siap kena bully (saat ini masih single :p )

lagi ngisi majlis ta'lim ibu2 (?)

lagi ngisi majlis ta’lim ibu2 (?)