Hakekat Ayu Tingting (baca: I-You : Think-Think)

Well, dari judul mungkin terbesit di benak kita semua pelantun ayat “alamat suci” eh salah, “alamat palsu”. Maaf bro n sists , secara insan abdi bangsa nan jaya, kita di sini akan lebih jauh lagi membahas istilah yang terkandung di namanya –nama bekennya-. Mungkin baru saya yang baru-baru ini menyadari bahwa nama tersebut filosofis sekali. Belum percaya? Lihat saja judul, dari namanya , ia mengajak khalayak untuk “Think , Think” secara harfiah artinya “Berfikir, berfikir” .. meminjam istilah Syahrini “ Subhanallaah ,, sesuatu… “

Banyak pemikir, ulama dan beberapa orang memiliki persepsi kalau, “yang membedakan manusia dengan binatang adalah akal; manusia mempunyai akal, sedangkan binatang tidak.” Mantra ini adalah murni konsep Yunani yang akrab dengan konsep “kata benda”. Dengan salah kaprah, ulama kita pun berujar bahwa manusia adalah makhluk yang bukan malaikat dan juga setan. Mereka berkata,” Malaikat hanya mempunyai akal. Oleh karena itu mereka beribadah selamanya. Setan Cuma punya nafsu doang.  Itu sebabnya, setan maksiat selamanya. Sedangkan manusia mempunyai akal dan nafsu.” Loh, adakah dalam Qur’an keterangan yang berkata bahwa malaikat mempunyai akal? Adakah ayat Al-Qur’an yang berujar bahwa setan mempunyai nafsu?

Memang benar manusia mempunyai akal, sedangkan binatang tidak. Akan tetapi, yang harus disadari oeh siapapun yang mengimani Al-Qur’an adalah kenyataan  bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada satupun kata ‘aqlun maupun al-‘aqlu. Dalam Al-Qur’an kita hanya dapatkan kata-kata yang merujuk ke kata kerjanya, seperti ya’qiluun, ta’qiluun, na’qiluun, dan ‘aqalu. Adapun Al-qur’an menggambarkan tentang aktifitas akal semisal tafakkur (berfikir), tadabbur (merenung), ‘ilm (ilmu), nazhar (pandangan), idrak (persepsi), fikr (pikiran) dan tabashshur (memperhatikan secara mendalam – insight). Dari fakta ini, konsep yang tepat adalah,” Yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya tidak lain karena manusia merupakan makhluk berfikir atau –meminjam istilah ahli mantiq- hayawan an-nathiq (binatang berfikir).” Artinya, ciri khas manusia adalah berfikir.

Agar kita-kita bisa jadi muslim yang dinamis, produktif, penuh karya, dan bermanfaat bagi orang lain, tentu saja kita harus memulainya dengan berfikir. Kenapa harus berfikir? Tentu saja. Sebab hanya orang-orang yang ‘otak-udang’ sajalah yang melakukan sesuatu tanpa dipikir terlebih dahulu. Betul tidak? Allah SWT berfirman: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (TQS Al-Israa’ [17]: 36)

Hanya saja, berfikir yang produktif bukan hanya asal berfikir. Tapi kudu berfikir yang serius. Kaya apa sih berfikir serius itu?

Dalam buku Hakekat Berfikir (2003) disebutkan, “Keseriusan (dalam berfikir) adalah adanya maksud, (dan) adanya usaha untuk merealisasikan maksud tersebut, disertai dengan adanya gambaran yang baik tentang fakta yang dipikirkan.”

Contohnya begini, berfikir tentang bahaya bukanlah semata-mata untuk membahas tentang bahaya, tetapi juga dalam rangka menjauhi bahaya. Berfikir tentang makan bukanlah sekadar membahas tentang makan, tetapi juga dalam rangka memperoleh makanan. Berapa banyak tetangga yang mantenan dan kapan saja jadwalnya. Hehe.. Berfikir tentang permainan juga bukan semata-mata membahas permainan, tetapi ditujukan untuk ikut bermain. Berfikir tentang piknik bukan pula sekadar membahas tentang piknik, tetapi dimaksudkan untuk menikmati piknik. Bagaimana bisa puas menikmati perjalanan dan pemandangan yang ada, tetapi tetap gratis. Begitu juga dengan berbagai aktivitas berfikir lainnya, bagaimanapun jenisnya. Intinya adalah berfikir tentang sesuatu plus berfikir tentang bagaimana mewujudkan sesuatu yang dipikirkan itu.

Keseriusan dalam berfikir harus diusahakan dengan benar. Dalam hal ini, adanya maksud-tertentu merupakan asas dalam berfikir serius, sedangkan menciptakan keseriusan merupakan tujuan itu sendiri. Mereka yang berfikir tentang sesuatu tapi gak bermaksud untuk mewujudkannya, ya terpaksa harus kita coret deh dari daftar orang yang berfikir serius. Bye bye. Misalnya, orang yang sedang berfikir tentang pernikahan tapi nggak memperhatikan hal2 yang dapat merealisasikan pernikahannya. Pada saat demikian, ia tidak dikatakan berfikir serius tentang pernikahan. (Cuma ngayal porno, kali?) Juga seseorang yang berfikir agar bisa memberi makan keluarganya tetapi malah bermain-main dan berkeliling di pasar tanpa usaha. Pada saat demikian, ia pun tidak dianggap sebagai orang yang serius dalam memikirkan nafkah keluarganya. Demikian juga kamu. Kalau kamu berfikir pengin jadi ilmuwan, dokter, penulis, programmer, usahawan atau apapun, tapi kamu nggak melakukan usaha-usaha yang bisa mengarah ke sana, ya wassalam lah. Kalo kita berfikir untuk mengabdi masyarakat dengan menjadi dokter, perdalamlah ilmu biologi, anatomi, neurologi, parasitologi, virologi ataupun ilmu-ilmu lain yang berkaitan. Jangan malah sibuk mengoleksi serial Running man (ups..) dan ngapalin lirik lagunya personil Indonesian Idol. Itu artinya Jaka Sembung turun gunung mampir makan di warung, alias kagak nyambung! Apalagi yang lebih edan nih, sibuk ngapalin gaya film atau gambar2 porno dengan alasan, “Ini gue juga lagi belajar anatomi!” Wasyahhh.. Itu mah bukannya serius berfikir jadi dokter, tapi serius berfikir mau jadi tamunya malaikat Malik! Ya nggak, bro’s n sists?!

Omongan seseorang bahwa ia serius dalam berfikir juga tidak cukup untuk membuktikan keseriusannya. Para politikus yang lagi sibuk dengan pemilunya bolehlah obral janji ke sana kemari “akan mensejahterakan rakyat” sampai mulut berbusa. Tapi kalau kenyataan selama mereka jadi pejabat negara selama bertahun-tahun yang ada cuma perut mereka yang semakin tambun, ya sama aja bodong. Dengan demikian, upaya real untuk melaksanakan sejumlah aktivitas fisik yang setaraf dengan apa yang dipikirkan merupakan hal yang harus ada demi terwujudnya keseriusan dalam berfikir, agar dapat menjadi bukti keseriusannya dalam berfikir. Individu2 yang malas, orang2 yang tidak mau menanggung berbagai risiko, orang-orang yang didominasi rasa malu; rasa takut, atau ketergantungan kepada yang lain, mereka semua sebenarnyanya tidak pernah serius dalam apa yang mereka pikirkan. Hal ini dikarenakan, kemerosotan berfikir akan mendorong seseorang untuk menginginkan yang mudah2, sehingga dia enggan mengupayakan hal-hal yang lebih berat dan sulit. Pengin jadi orang kaya tapi nggak mau berkeringat. Pengin lulus ujian dengan nilai bagus, tapi malas untuk menyerap ilmu dan latihan soal. Kemalasan bertentangan dengan keseriusan, dan ketidakmauan menanggung risiko akan memalingkan kita dari keseriusan. Sementara rasa malu, takut, dan ketergantungan kepada yang lain juga akan menghalangi kita dari keseriusan. Nggak paham ilmu yang lagi disampaikan, eh malu bertanya. Namun ketika diajak nongkrong di pinggir jalan sambil nggodain tetangga desa lewat, hilang tuh malunya! Huh, dasar!

So, upaya mengangkat taraf berpikir, menghilangkan kemalasan, menghapus keengganan untuk menanggung risiko, membedakan rasa malu dengan apa yang wajib dimalui, menumbuhkan keberanian, serta menjadikan sikap bergantung pada diri sendiri (mandiri), HARUS kita jadikan sebagai kebiasaan yang harus dimiliki. OK?!